Pagi ini -26 April 2021- jogging, rutin. Biasanya jogging sambil memperhatikan sekitar. Ada apa saja di sekitar yang dilalui? Maklum, sering jogging melewati jalan-jalan baru, jadi menarik untuk memperhatikan. Atau memperhatikan jalan lama, mungkin ada sesuatu yang baru, yang menarik.
Kali ini, saya tertarik dengan angka 37A di sebuah rumah yang saya lalui.
Angka ini membuat angan melayang ke masa TPB (Tahun Pertama Bersama) di ITB, 1986/1987. Ya, saya tinggal di Taman Hewan nomor 37A (semoga tidak salah ingat). Tahun pertama, tinggal di Taman Hewan 37A, adalah tahun yang mungkin termasuk paling mengesankan selama kuliah/berada di Bandung.
Tinggal sekamar dengan kang Heri Pur adalah kenangan yang sangat baik. Kok bisa kami sekamar? Kemungkinan cari murahnya ya, share kamar. Satu kamar dengan sekat tembok. Kamar belakang dengan bed kingsize bisa untuk berdua. Kamar depan untuk belajar. Seingat saya (sekitar) 250rb rupiah setahun, bagi dua.
Tetangga kamar kami ada Catur dan Gadang Basuki. Nah, Catur ini sudah enggak pernah lagi kontak dimana dia sekarang (sejak pisah kost pun udah gak connect). Tetapi Gadang tentu tetap connect, karena kami satu jurusan, Elektro (Catur: Mesin). Apalagi sekarang kan zaman reunian. Apalagi, Gadang rada high profile, sering pasang video nyanyinya di youtube. Keren lah.
Tetangga kamar kami berikutnya adalah Tiopan dan Mangihut. Pada waktu itu saya belum terlalu care/ngeh tentang marga, jadi saya kurang ingat apa marga kedua kawan tsb. (Sekarang, mengetahui marga kawan adalah kewajiban, secara nama mereka itu banyak nama pasaran, mesti tahu marganya sebagai pembeda… coba lihat berapa banyak nama David atau Daniel?) 😀
Kalau dengan Tiopan (atau Mangihut) yang notabene Batak Kristen, saya bisa mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan Alkitab, secara santai atau rileks dan spontan. (Padahal kemudian, saya juga tahu bahwa saya bisa membicarakan isi Alkitab dengan teman Muslim juga dengan rileks dan natural. Bukan kah isinya memang sangat bagus untuk semua orang? Kalau tahu caranya….)
Di tahun pertama itu, saya menghafalkan Yer 17:7-8 (dari sekian buanyak ayat hafalan):
Yer 17:7 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! 8 Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Pada waktu itu saya tidak concern dengan latar belakang kata-kata itu. Dikatakan kepada siapa, mengapa, dll. Dan sekarang pun saya belum menelitinya.
Ayat itu, pada tahun pertama kuliah itu, luar biasa artinya. Sangat luar biasa. Kadang terasa aneh kalau diingat balik. Tentang mengandalkan Tuhan, mengharapkan sesuatu yang di luar apa yang saya pikirkan.
Salah satu pengalaman kecil adalah dengan kuliah Kimia Dasar. Kita dapat dua kali kuliah Kimia, Kimia I (semester 1) dan Kimia II (semester 2). Saya mesti mengatakan, bahwa ini saya katakan/ceritakan dengan ingatan saja, mungkin ada detail yang tidak tepat. 🙂
Kimia adalah pelajaran yang paling sulit bagi saya, paling tidak dibandingkan Fisika atau Matematika. Misalnya Matematika, saya bisa berharap nilai A+ kalau ada. Tetapi Kimia I saya hanya dapat B.
Jadi adalah suatu yang wajar saya berharap dapat A untuk Kimia II. Target yang secara manusiawi kurang realistis, karena memang saya kurang suka atau kurang pintar Kimia, rasanya kok pelik banget pelajaran satu ini. 😀
Apalagi, ini latar belakang lain, saya mahasiswa miskin.. enggak ada kemampuan beli buku diktat bahkan untuk fotocopy material kuliah juga enggak ada uang. Kasihan ya. 😀 Makan saja kadang enggak ada uang, boro-boro beli buku. Lebih penting hidup daripada kepintaran kan? hahaha….
Saya biasanya berharap pada lungsuran buku dari orang/senior yang saya kenal. Atau… ya ini dia: ilmu kepepet. Kemiskinan membuat kreatif.
1. Saya kuliah jadinya sangat fokus, karena tahu nanti di rumah mungkin saya gak ada material lain untuk dipelajari, waktu kuliah harus bisa serap 100% apa yang dosen ajarkan.
2. Ini untungnya tinggal bersama kawan-kawan. Kalau kawan lain lagi tidur, saya pinjam buku diktatnya. Biar gak ganggu dia belajar. Pinter kan? 🙂
Seperti bisa diduga, nilai UTS saya (Kimia II) cukup rendah. Saya lupa persisnya, maybe sekitar 79 … atau 69 ya? Mulai berhitung: kalau UTS dapat segitu, lalu bobot UTS segini, maka saya harus dapat nilai sekian utk UAS supaya bisa dapat nilai A. Dan waktu itu hitungan saya harapan/target nilai UAS itu terlalu tinggi, rada mustahil, saya lupa persisnya, mungkin sekitar 95 atau gimana… Mustahil bin mustajab.
Ketika UAS tiba, dengan semangat 45 saya maju berperang. Sampai detik/titik darah penghabisan. Yang lain ngobrol menunggu menit UAS tiba, saya masih comot/sabet buku diktat mereka untuk membaca lagi. Dan hebat, apa yang saya baca last minutes itu keluar di ujian, sodara-sodara!!! Merasa hebat dan senang.
Dan tibalah hari pengumuman nilai UAS, mungkin itu sebelum masa libur panjang. Kita ke gedung Kimia dengan harap-harap cemas. Saya runut melihat nama saya dan nilainya. Tentu saya lupa juga sekarang, berapa nilai saya waktu itu. Tetapi yang jelas, dengan perhitungan saya, dengan bobot dan nilainya, saya gak mencapai target nilai untuk mendapat A. Mungkin saja saya dapat nilai 90, udah hebat kan? Tetapi tetap lunglai lah…
Ya sudahlah, yang penting liburan tiba, saatnya istirahat… 🙂
Balik dari liburan, kita lihat lagilah nilai akhir (huruf) dari mata kuliah-mata kuliah yang kita ikut… Dan, … kita dapat A sodara-sodara, untuk KIMIA II. Hah??? Rupanya nilai keseluruhan kelas, dibuat kurva normal, mengubah standar untuk dapat A, dan nilai akhir saya ada di bagian A. Wow. Luar biasa.
Saya gak ingat, apakah waktu itu saya tertawa atau menangis berkaca-kaca, atau gimana. Pasti saya senang sekali.
Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!Â