dituliskan tahun 2008
Saya berasal dari sebuah keluarga Jawa, dilahirkan dan dibesarkan sampai tamat SMA di dua kota di Jawa Tengah. Bapak saya seorang perwira Angkatan Darat yang berasal dari angkatan ’45 yang sudah ikut berjuang dari masa mudanya. Seorang laki-laki yang tegas, dan keras, sederhana, dengan rasa kebanggaan yang tinggi. Sebagai seorang Jawa dan ABRI, rasa toleransi beliau sangat terasa di balik ketegasannya. Sementara ibu dulunya adalah seorang guru yang memilih untuk tidak mengajar lagi setelah menikah dan melahirkan anak. Beliau seorang yang sabar, tahan menderita, berkemauan belajar kuat, serta seorang yang selalu menjaga orang-orang/pihak-pihak di sekitarnya yang sedang konflik (sebagai penyeimbang).
Saya dilahirkan sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Meski kami merupakan keluarga non Kristen tapi 4 anak termasuk saya dari kami 5 bersaudara dimasukkan ke sekolah dasar swasta Kristen. Alasan orang tua saya waktu itu adalah mencari sekolah dengan kualitas pendidikan yang baik, dan itu ditemukan di sekolah tersebut. Tentu saja di sekolah tersebut kami mendapat/mengikuti pelajaran agama Kristen dan terkadang mengikuti sekolah minggu dan beberapa perayaan memperingati hari besar dalam kekristenan. Masa sekolah dasar saya lalui dengan baik dan saya menikmatinya. Prestasi akademik maupun non akademik saya juga cukup baik semasa sekolah dasar, meski orang tua khususnya ibu hampir tidak pernah memaksa kami belajar saat di rumah.
Dunia Yang Tidak Adil
Salah satu kegelisahan saya semasa SD adalah ketika menemukan kenyataan bahwa dunia ini sangat tidak adil, sangat tidak damai. Sering diam-diam saya mengamati segala sesuatu di sekitar saya baik dalam keluarga ataupun diluar keluarga, bahkan dalam diri saya sendiri. Banyak hal yang tidak benar, yang tidak baik saya temukan di sana. Hal yang kemudian menjadi suatu pencarian jawaban bagi saya pribadi.
Setamat SD biasanya saudara-saudara saya mulai belajar sembahyang dan belajar membaca kitab agama kami. Hal ini dikarenakan mereka atau kami akan melanjutkan ke SMP negeri yang otomatis kami akan mendapat/mengikuti pelajaran agama kami. Bagi saya itu suatu hal yang ‘merepotkan’, tidak praktis, dan semacamnya. Oleh karenanya setamat dari SD saya memberanikan diri untuk menyampaikan ke bapak bahwa saya ingin melanjutkan/mengikuti agama Kristen saja. Jadi saya mohon ke beliau untuk mengisi data siswa pada kolom agama diisi “Kristen”. Orang tua saya tidak menolak, menyetujuinya dengan suatu syarat bahwa jika saya benar-benar ingin memeluk agama Kristen, saya harus beribadah pada salah satu gereja dan mentaati ajaran-ajaran di dalam kekristenan. Saya harus bertanggung jawab dengan pilihan saya menurut beliau.
Tak lama kemudian saya bergabung dengan salah satu gereja yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah. Saya rutin mengikuti kebaktian untuk anak-anak seusia saya setiap minggunya, terkadang ikut kegiatan lain seperti vokal grup, dan semacamnya. Orang tua cukup mendukung, mereka membelikan Alkitab dan beberapa keperluan saya yang berhubungan dengan kekristenan mereka penuhi/cukupi. Mereka juga membebaskan saya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di seputar gereja.
Merasa Cukup dan Puas
Hampir mirip dengan masa SD, masa SMP juga saya lewati dengan cukup lancar dan berhasil. Saya sangat menikmati masa SMP ini dengan banyak pergaulan dan kegiatan yang positif di berbagai bidang. Rasanya apa yang menjadi keinginan saya dengan sedikit bekerja keras bisa tercapai. Namun di dalam semua itu saya menyadari saya bertumbuh menjadi seorang yang cukup mandiri dan merasa cukup/puas dengan diri sendiri. Di balik sikap saya yang baik dan sopan tersimpan seorang yang sangat individualistis. Saya masih tetap suka mengamati segala hal di sekitar saya namun hati saya sulit tergerak/berbelaskasihan oleh apa yang saya amati. Pemikiran saya saat itu adalah “kita urusi urusan kita masing-masing, jangan terlibat terlalu jauh dalam kehidupan orang lain, kalaupun berinteraksi itu sebatas sebagai basa-basi kesopanan hidup sebagai makhluk sosial”. Hal yang terkadang membuat saya frustrasi saat itu adalah pemikiran mengenai kenyataan bahwa sehebat apapun pencapaian seorang manusia pada ujungnya dia tetap akan sampai pada kematian. Lalu untuk apa segala jerih lelah dan keberhasilan ini, untuk apa kehidupan ini? Kepuasan, harga diri, penerimaan? Rasanya terlalu sepele/rendah kalau kehidupan hanya untuk itu.
Pertengahan kelas 3 SMP terjadi peristiwa yang sangat berarti dalam kehidupan saya. Saat itu, setelah melalui perenungan-perenungan mengenai kehidupan pribadi dan firman Tuhan selama beberapa bulan, sebuah tantangan/pertanyaan seorang pembimbing di gereja membawa saya bertobat dan menerima Yesus Kristus secara pribadi. Menjadikan Kristus bukan lagi sekedar formalitas dalam suatu kehidupan yang baik melainkan menjadikan Dia Juruselamat pribadi dan Tuhan atas kehidupan saya. Saya sungguh bersyukur atas kejadian ini. Sejak saat itu saya merasa Tuhan menolong untuk melihat diri saya dan dunia dengan suatu cara pandang yang baru. Bahwa Tuhan sungguh mengasihi saya, bahwa saya sungguh berharga di hadapan-Nya, tidak ada sesuatupun yang “kebetulan” dalam kehidupan saya di dalam Dia. Pengertian dan keyakinan semacam ini pelan-pelan mempengaruhi cara pandang saya terhadap orang-orang di sekitar saya beserta segala kejadian dalam kehidupan saya. Rasa individualitas saya pun saya sadari sebagai bentuk keegoisan yang lebih “sopan”, yang harus saya mintakan ampun dan belajar untuk berubah dari waktu ke waktu. Saya mulai belajar peduli kepada orang lain secara tulus.
Orangtua Mendukung
Beberapa bulan setelah bertobat, sebelum mengakhiri masa SMP, saya mengambil keputusan untuk dibaptis di gereja tersebut. Orang tua saya tetap mendukung bahkan turut hadir dalam acara baptisan saya. Saya sungguh bersyukur akan kedua orang tua saya. Saudara-saudara di rumah juga kelihatannya tidak begitu bermasalah dengan keputusan saya. Kelihatannya dalam keluarga saya sepanjang segala sesuatunya terkendali dan baik-baik apapun langkah yang diambil anak-anak jarang mendapat tentangan. Bapak pernah mengatakan demikian kepada kami anak-anaknya,”Jika kamu mengambil suatu keputusan dalam kehidupan ini maka kamu sendiri yang akan menjalaninya dan menanggung konsekuensi/resikonya. Jika hal itu baik dan mulia, kamu juga yang akan senang dan berbahagia. Tetapi kalau hal itu tidak baik dan berat, kamu sendiri juga yang akan malu dan menderita. Kami orang tua tidak bisa berbuat banyak/ikut campur dalam semua itu.” Kata-kata beliau ini sungguh terbukti hampir di setiap masa kritis kami anak-anaknya dalam mengambil keputusan-keputusan penting seperti melanjutkan sutdi lanjut setamat SMA, bekerja, berpacaran/menikah, dan sebagainya. Bagi saya kata-kata ini berarti saya harus bertumbuh menjadi seorang yang bertanggung jawab dan punya integritas.
Setamat dari SMP negeri saya masuk SMA negeri. Di SMA ini saya diajak ikut persekutuan sekolah yang didalamnya ada semacam kelompok pemahaman Alkitab atau kelompok kecil/pemuridan. Sekali lagi saya bersyukur karena melalui kelompok kecil ini kehidupan dasar saya dibangun. Saya belajar membangun suatu relasi yang personal dengan Tuhan, belajar menyelidiki Alkitab dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan seterusnya. Melalui semua proses itu saya belajar mengerti maksud dan tujuan Tuhan secara khusus dalam kehidupan saya dan bagaimana Tuhan hendak menyatakannya. Saya belajar banyak menerapkan kebenaran firman Tuhan dalam konteks keluarga saya yang non Kristen. Mengasihi mereka dalam bentuk-bentuk tindakan yang sangat sederhana dan nyata tanpa polesan budaya/tradisi kekristenan. Di masa-masa inilah saya semakin dibukakan suatu kenyataan kehidupan yaitu di dalam ‘ketenangan’ kehidupan keluarga saya sebenarnya ada banyak masalah yang sangat kompleks. Begitu juga saat saya belajar memiliki teman-teman atau sahabat, saya juga melihat kenyataan itu dalam keluarga-keluarga mereka.
Jalan Terbuka
Masa SMA saya lalui juga dengan lancar dan baik. Suatu masa yang indah bagi saya karena didalamnya saya banyak dibangun dalam firman Tuhan. Di masa itu juga saya belajar menolong beberapa adik kelas dalam kelompok kecil pemahaman Alkitab. Setamat SMA saya diterima di salah satu institusi teknik terbaik di negeri ini tanpa tes yaitu melalui jalur PMDK pada waktu itu. Saat itu saya memang memilih suatu bidang tertentu yang ada di institusi tersebut dengan suatu keyakinan akan rencana Tuhan bagi masa depan saya. Sungguh bersyukur bahwa Tuhan membuka jalan ke tempat tersebut untuk saya melanjutkan studi.
Ternyata bukan hanya kesempatan menimba ilmu yang saya inginkan yang saya dapatkan di institusi tersebut. Saya juga beroleh banyak pelajaran dan latihan secara mental rohani di tempat tersebut. Selain kuliah dan ikut kegiatan di kampus, saya juga bergabung dengan persekutuan di kampus dan banyak di tolong melaluinya. Melalui semua proses itu saya semakin melihat suatu benang merah dalam kehidupan saya akan rencana Tuhan bagi saya. Seolah saya melihat dari awal bagaimana Tuhan memakai orang tua/keluarga saya yang non Kristen untuk mulai berkenalan dengan keristenan melalui masa SD. Lalu di masa SMP saya ditolong-Nya untuk mengenal lebih pribadi dengan Kristus dan bertobat. Bukan hanya itu setelah semua itu saya seperti disediakan suatu komunitas untuk bertumbuh melalui belajar firman Tuhan dan latihan/pengalaman kehidupan dari semasa SMA sampai saya kuliah. Itu sangat istimewa bagi saya yang berlatar belakang non Kristen.
Sampai pada suatu saat di kampus saya mengambil keputusan untuk terus melayani Tuhan meskipun saya belum tahu seperti apa bentuk wujudnya nanti. Tentunya pelayanan yang terutama yang saya yakini adalah di dalam keluarga saya sendiri, khususnya memperhatikan dan membangun hubungan yang semakin mendalam dengan orang tua. Menyediakan diri bagi orang tua untuk mendengarkan dan menemani di masa tua mereka. Bersaksi melalui kehidupan nyata saya sehari-hari.
Pria Semenjak SMA
Setamat dari dunia kampus saya bekerja sebagai pengajar. Tidak lama berselang saya menikah dengan pria yang telah saya kenal sejak dari masa SMA, tetapi kami baru menjalin hubungan khusus sekitar setahun sebelum saya lulus. Dia kakak tingkat di kampus. Di persekutuan kampus kami banyak berinteraksi dalam konteks pergaulan umum. Kami sepakat dan memutuskan untuk menikah setelah melalui suatu perjalanan panjang saling mengenal diri kami masing-masing dan melihat rencana Tuhan di dalamnya. Kami meyakini bahwa Tuhan mempunyai suatu rencana khusus didalam keluarga yang akan kami bangun. Suatu visi dan tujuan di awal pernikahan yang menolong kami dalam menjalani hidup pernikahan/berkeluarga yang penuh dinamika.
Beberapa bulan setelah menikah kami mengambil keputusan penting dalam kehidupan kami yaitu melayani Tuhan sepenuh waktu melalui cara menjadi pekerja/staf di salah satu lembaga pelayanan, mengundurkan diri dari pekerjaan kami sebagai pengajar (suami waktu itu juga pengajar). Kami melayani teman-teman mahasiswa di kampus almamater kami. Sekitar 1,5 tahun setelah menikah saya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak satu-satunya sampai saat ini, setelah 14 tahun menikah.
Setelah menikah saya/kami merasakan Tuhan semakin membukakan hal-hal yang selama ini tidak kami lihat atau rasakan sebagai seorang singel mengenai dinamika dan permasalahan yang ada dalam sebuah keluarga. Dengan diri saya menjadi pasangan/istri dan orang tua/ibu dari seorang anak, itu sangat menolong saya mengempati situasi dan kondisi keluarga besar saya. Hubungan saya dengan orang tua khususnya ibu semakin mendalam dan berarti, mungkin karena beliau melihat sekarang saya juga seorang istri dan ibu. Kami sering saling curhat mengenai berbagai hal dari permasalahan keluarga yang pelik hingga hal remeh temeh seperti resep atau bumbu dapur. Ibu sedemikian dekat dan mempercayai saya sehingga ada banyak rahasia beliau dan keluarga yang diungkapkan kepada saya untuk mencari masukan dan dukungan. Perbedaan keyakinan tidak membuat beliau menjaga jarak dengan saya. Saya juga belajar dengan tulus mengasihi beliau tanpa ‘agenda’ tersembunyi untuk PI dan semacamnya. Saya berpandangan jika saya belajar untuk hidup benar berdasar Alkitab maka hidup saya otomatis menjadi Injil bagi orang lain, suatu kitab yang terbuka bagi setiap orang yang berinteraksi dengan saya. Selebihnya yang berkuasa mempengaruhi/mengubah hati orang adalah pekerjaan Allah melalui Roh Kudus dalam diri orang-orang. Saya sungguh menikmati kemurahan Tuhan dalam relasi dengan ibu.
Memulai Sesuatu Yang Baru
Hubungan tersebut juga banyak membukakan saya mengenai hal/pelajaran yang benar dan baik atau yang tidak benar yang saya terima selama saya di rumah, yang bisa jadi mempengaruhi pola saya dalam berkeluarga, relasi dengan suami dan membesarkan anak. Saya (tentu dengan suami) belajar untuk membangun dan memulai sesuatu yang baru yang didasari oleh pemahaman akan firman Tuhan dan pengalaman/pelajaran dari keluarga kami masing-masing. Saya menyadari ada kekurangan dan kesalahan yang telah orang tua saya lakukan saat membesarkan kami termasuk saya, bukan dengan sengaja tapi sebagaian besar karena tidak tahu dan tidak menyadarinya. Mereka hanya sekali menjadi orang tua dan saat itu informasi serta orang-orang yang bisa menolong sangat terbatas. Mereka sendiri bisa jadi merupakan hasil dari pengasuhan dan pendidikan yang tidak sepenuhnya benar dan baik/tepat di masa lalunya. Bagian saya dalam hal ini adalah menerima mereka apa adanya dan mengampuni dengan tulus ikhlas. Memandang segala apa yang terjadi di masa lalu saya di dalam keluarga dalam pengertian dan otoritas Tuhan, dan bahwa Ia berkuasa mengubahkan dan memulihkan.
Keyakinan saya semakin kuat bahwa salah satu maksud dan rencana Tuhan memanggil saya yang berlatar belakang keluarga non Kristen adalah untuk melayani keluarga saya tersebut, khususnya orang tua saya. Keyakinan ini sangat menolong saya untuk mengejar perdamaian/rekonsialisi atau mengambil inisiatif untuk meminta maaf terlebih dulu di saat kesalah pahaman dan tekanan-tekanan muncul dalam hubungan saya dengan orang tua oleh karena beberapa hal. Tidak membiarkan iblis dengan tipu dayanya menghancurkan hubungan kami.
Bukan hanya itu, keyakinan tersebut juga sangat menguatkan saya saat harus menemani ibu di saat-saat menjelang beliau meninggal dunia. Diantara kedukaan dan kesedihan karena ditinggal ibu, saya merasakan aliran kelegaan karena sudah melakukan bagian saya sebagai seorang anak yang mengasihi beliau sampai akhhir hidupnya, kelegaan karena suatu pengertian yang mendalam bahwa beliau sudah mengambil keputusan yang tepat menjelang akhir hidupnya. Yaitu suatu pengalaman yang sangat personal antara ibu dan Kristus yang tak seorangpun tahu termasuk saya, semua karena pekerjaan Roh Kudus.
Keyakinan tersebut juga menguatkan saya/kami saat merawat bapak. Sepeninggal ibu, bapak langsung kehilangan semangat hidup, suatu hal yang semakin membuat kondisi fisiknya jatuh lemah. Penyakit gula yang sudah belasan tahun beliau derita dengan tetap bisa hidup normal, menjadi bermasalah. Sebelumnya dalam perawatan ibu, belasan tahun bapak mengidap penyakit gula belum pernah sekalipun dirawat inap di rumah sakit. Tetapi begitu ibu menginggal 2 kali bapak harus dirawat inap di rumah sakit. Sekitar 6 bulan setelah ibu meninggal, bapak juga meninggal dunia. Kembali saya berduka.
Sacrificial Love
Pengalaman-pengalaman kehidupan di atas sangat memberikan pelajaran bagi saya. Bahwa mengasihi itu di dalamnya mengandung suatu pengorbanan dalam berbagai taraf. Tidak ada kasih yang tanpa pengorbanan. Allah di dalam Yesus Kristus sudah memberikan teladan nyata dalam kasih yang berkorban tanpa syarat.