Kalajengking di Padang Gurun

Waktu itu terjadi, sungguh nyata tantangan umat-Nya adalah padang gurun, kalajengking… Nuansa yang sama, kita di zaman sekarang juga mengalami “padang gurun” dan “kalajengking”.

Ul. 8:15 TUHAN memimpin kamu melalui padang gurun yang luas dan dahsyat, yang banyak ular berbisa dan kalajengkingnya. Di tanah yang kering tanpa air Ia membuat air mengalir dari batu, supaya kamu dapat minum sepuas-puasnya.

kak Winda menyorot (highlight) ayat ini bbrp waktu lalu. Membaca ayat ini mengingatkan saya salah satu sisi masa lalu/masa muda saya.

Ketika SMA, kami didisiplin membaca Alkitab, the whole bible, urut dari Kejadian sampai Wahyu, setahun sekali.

Membaca keseluruhan seperti itu memberikan banyak nuansa-nuansa dan detail-detail. Banyak detail terasa lucu/menggelikan kalau dibandingkan dengan zaman sekarang.

Tapi banyak sekali hal menarik kalau kita berpikir sedikit, atau tepatnya: kalau Tuhan menyatakannya.

Tuhan yang sama ribuan tahun yang lalu, Tuhan yang sama saat ini. Ketika Dia berlaku sesuatu di suatu masa ribuan tahun yang lalu, mungkin ada nuansa yang sama ribuan tahun kemudian.

Kembali ke ayat di atas. Waktu itu terjadi, sungguh nyata tantangan umat-Nya adalah padang gurun, kalajengking… Nuansa yang sama, kita di zaman sekarang juga mengalami “padang gurun” dan “kalajengking”.

Perjalanan dalam kuliah, pekerjaan, hubungan pacaran, dst… bisa jadi seperti padang gurun dengan banyak kalajengking.

Keep strong. Tuhan beserta kita. Air akan mengalir dari batu, minumlah sepuasnya. 🙂

NB: Foto ilustrasi, kemarin (18 Mei 2019) di Sopo Marpingkir HKBP Pulo Gebang. Selalu senang bertemu sahabat-sahabat ini. 🙂

Bikin Masalah Aja, Kawan Ini

Demikianlah.. malam itu ngobrol dengan bang Wawan emosi terasa aneh, antara syukur dan mungkin sedikit shock… Malam pun ditutup dengan doa bang Wawan, doa ucapan syukur Tuhan masih memberi waktu. 🙂

Saya tidak menyangka sebesar itu bahayanya.

Sabtu malam 15 Des, dari Puncak/Cisarua kami mengendarai mobil turun ke Sentul, sekitar jam 9.30 (atau lewat… tak terlalu ingat). Seperti biasa check maps online, bgmn kondisi turun dari Puncak di malam minggu spt itu. Merah seperti dugaan, karena ada penyempitan jalan (kelihatan waktu kami naik sorenya).

Diberi saran jalan alternatif, pertigaan Megamendung belok kanan, lewat dalam, langsung akan tembus ke Taman Budaya Sentul. Selisih lebih dari 30 menit, lebih cepat, daripada jika lewat jalan biasa. (Memang tujuan kami gak jauh dari Taman Budaya Sentul.) Kalau selisih 5-10 menit, sering saya abaikan; tapi selisih 30 menit cukup berarti. Jadi saya ambil jalan alternatif itu. Kawan di samping saya diam saja, biasanya setuju aja (atau tidak setuju tapi diam haha). 🙂

Dan… sudah bisa diduga jalan akan lebih sempit.

Saya pernah juga dulu dari Sentul ke Gn Geulis, diarahkan maps lewat jalan paling biru (biru di maps berarti lancar), tapi birunya rupanya mengandung jalan berbatu. Waktu itu pagi dan musim panas, biasa saja.

Tapi kali ini malam hari, musim hujan (siang/sorenya kelihatannya hujan deras), dan jalan ini belum pernah dilalui.

Mula-mula jalan baik-baik saja, sempit tapi aspal. Makin lama jalan makin gelap tak ada lampu. Dan makin lama aspal menghilang, tinggal berpasir… dan makin lama jalan tanah!

Ada satu ruas sekian puluh (atau sekian ratus) meter yang sangat licin karena kelihatannya sorenya habis hujan cukup lebat. Sangat licin sampai kadang terasa sedikit tergelincir, terasa seperti mobil bergerak tidak seperti harapan/setir. Harus ekstra hati-hati supaya mobil tidak terperosok ke luar jalur.

Kadang jalan berbatu-batu, dan batunya juga agak licin. Kadang menurun, kadang menurunnya agak terjal… kadang nanjak, dan kadang tanjakannya terasa cukup terjal sampai agak kuatir apakah ban mobil bisa kokoh menancap, karena selain terjal kadang jalan ditumbuhin rumput sehingga agak licin.

Kadang di sisi kiri tidak terlihat apa-apa, gelap… saya sangka mungkin kebon. Kemudian saya diberitahu bang Wawan: itu jurang! Waduh, jadi kalau sempat saya tergelincir ke kiri, … waduh rada tergetar membayangkan apa yang mungkin terjadi.

Ya ada 4-5 ruas (atau lebih, gak ingat) yang sebenarnya cukup mengkuatirkan. Saya harus penuh konsentrasi (tapi saya tidak tegang, saya sudah pasrah kalau ada apa-apa…), saya hanya mencoba melakukan pengendalian kendaraan sebaik mungkin… kalau terasa tergelincir, saya coba arahkan ke arah kanan (bukan kiri yang tak kelihatan apa-apa). Kalau menanjak yang agak licin karena rumput-rumput, saya coba hindari rumput sebisa mungkin dan usahakan kecepatan tetap terjaga sambil (hanya bisa) berharap tidak ada mobil dari arah berlawanan. Dan rupanya/kelihatannya tidak ada mobil lain yang mengambil tantangan seperti kami. Saya sempat kuatir di suatu ruas, bahwa mobil saya tidak akan bisa menanjak,… tapi akhirnya bisa juga. #senyumpahit

Jadi mengenang situasi itu, khususnya ketika sudah agak pasrah apakah akan tergelincir ke kiri atau mobil gak akan bisa nanjak… mungkin malaikat ikut menyumpah: bikin masalah saja kawan satu ini… terpaksa kita kerja keras sedikit menjaga mobil ini. haha…

Ketika akhirnya melihat patok: km0.. alhamdulillah, saya udah pernah tahu patok ini, dan berarti jalan sudah aman.

Tiba di rumah bang Wawan hampir jam 10pm dan menceritakan kisah ini, dia berkata dengan agak aneh perasaannya kulihat: “Kalau tahu mas Setya mau lewat situ, PASTI saya larang… itu sebelah kiri kebanyakan jurang. Siang pun bahaya, apalagi malam dan habis hujan! Mobil saya pun pernah selip di daerah situ perlu dibantu penduduk untuk keluar dari situasi selip.” Widih…. iya ya, kok mobil saya tadi bisa lolos dari selip padahal tanah betul licin… kasihan malaikat mungkin kerja sedikit lebih keras.

Demikianlah.. malam itu ngobrol dengan bang Wawan emosi terasa aneh, antara syukur dan mungkin sedikit shock… Malam pun ditutup dengan doa bang Wawan, doa ucapan syukur Tuhan masih memberi waktu. 🙂

US 2013: Penerbangan dan Bandara

Perjalanan panjang, berarti juga kami melewati bandara-bandara baru.

Berdasarkan efisiensi dan efektivitas, termasuk harga tentunya, akhirnya kami membeli tiket pp Qatar Airways CGK-IAD (Washington International Airport Dulles), transit di Doha International Airport (DOH). Harganya USD 1,525 per orang. Sementara untuk penerbangan dalam state, seorang teman di sana membantu membelikannya: DCA-DEN, DEN-ATL, ATL-IAD – total USD 517.7 per orang (belum bagasi, beberapa penerbangan mencharge bagasi).
Waktu berangkat, mendekati landing di bandara Doha International Airport (Qatar) jam 04:10, kita akan lihat tanah datar dan berwarna coklat, sedikit pohon hijau. Kawasannya luas sekali. Pesawat berhenti di tengah kawasan, rupanya bukan nempel gedung bandara. Jadi kita turun lalu dijemput bus (sayang bau asap masuk ke dalam). Cukup lama perjalanan bus itu ke gedung bandara, sekitar atau malah lebih dari 15 menit.

Gedung/halte pertama adalah “Arrival”, turunlah disitu yang tujuan akhirnya adalah Doha. Saya ikuti insting saja, kebanyakan orang kok ndak turun, saya lanjutkan… dan benar, halte/gedung berikutnya bertuliskan “Transfer and Departure”. Di sinilah orang-orang yang akan melanjutkan penerbangan turun. Toko-toko/counter di gedung ini kelihatannya jalan 24 jam, termasuk restonya (kami sadari ketika transit baliknya, landing 18:40, takeoff lagi 02:40 masih ramai saja). Ada lagi satu gedung halte, “Premium Transfer Terminal”, tapi kami ndak pernah ke sana. 🙂

Untungnya di bandara ini ada wifi gratis, meski tidak di semua area, mesti cari-cari posisi yang pas sinyalnya kuat. Lumayan bisa tetap konek dengan teman-teman.

Begitu ramai di tengah malam, hampir tidak ada kursi yang kosong, malah banyak yang duduk di lantai. Para penumpang orang Korea khususnya para wanitanya begitu berisik sampai diperingatkan petugas. (Kata teman, yang nomor satu berisik adalah orang China, kedua baru Korea. he..he..)

Anak kecil keluarga India di kursi belakang sering rewel di penerbangan sekitar 14 jam Doha-Washington DC.

Anak segitu jelas mudah bosan dan jadi rewel. Tentu beberapa hal dilakukan orangtuanya, tapi ndak kulihat mereka membawa jalan anaknya, di kursi aja terus.

Kadang anak perempuan keriting itu colek kami. Lalu dia akan senang, tersenyum lebar kalau saya kasih mimik arau gerakan tangan sambutan/bermain.

Jadi ingat Soko waktu kecil naik kereta ke/dari Jawa, ndak mau di kursi! Bapaknya capek berdiri di gang, di kereta ekskutif! :'(

US Trip Lessons
Setiap orang punya kondisinya yang khas, maka perlu persiapan dan antisipasi yang sesuai.

Untuk saya, hal ini antara lain:
– mudah kenyang, mudah lapar, perlu sering makan, maka sedia sesuatu untuk ganjal perut.
– mudah tegang, mudah marah, maka usahakan setting waktu yang aman/lega supaya keadaan tetap lebih terkontrol.

Ketabahan Ibu

Now faith, hope, and love remain—these three things—and the greatest of these is love.

Mestinya judulnya ketabahan orang tua. Tapi mengamati banyak praktek, akhirnya judul Ketabahan Ibu ini lebih cocok lah. Ayah dan ibu, keduanya punya ketabahannya sendiri, tapi kali ini, yang saya lihat dan akan ceritakan adalah ketabahan ibu.

Saya melihat seorang ibu, yang pernah berkarir, lalu keluar dari kantornya untuk anak-anaknya yang baru lahir/masih kecil. Lalu ibu ini ngantor lagi, tapi tak setahun keluar lagi, sambil menantikan anak ke-3 lahir.

Melihat seorang ibu hari demi harinya, jam demi jamnya, saat demi saatnya menemani dan menyertai anak-anak kecilnya… adalah sesuatu yang menakjubkan. Ibu punya ketabahan yang luar biasa.

Saya bermain hanya/ndak sampai sejam… bermain lego dengan anak ini. Bayangkan, ini hanya sejam… lah seorang ibu yang di rumah? Dengan 2 anak? Luar biasa tabahnya.

Sangat bersyukur, ada keindahan-keindahan di dalam hati yang Tuhan berikan yang membuat semua itu terjadi.

Istri saya pernah mengalaminya… dan aneh rasanya, itu semua rupanya telah dilalui. Seperti tak terasa waktu berlalu….

Now faith, hope, and love remain—these three things—and the greatest of these is love. (1 Corinthians 13:13 CEB)

Tambahan ilustrasi: 😁

Mbak-mbak yang Baik

Jadi, untuk saat ini ada tiga hal yang kita harus tetap lakukan: percaya, berharap dan saling mengasihi. Yang paling penting dari ketiganya itu ialah mengasihi orang-orang lain.

Belum lama ini kami mampir ke rumah kawan, pada jam kantor. Tentulah kawan kami, suami istri, tidak berada di rumah. Mereka bekerja di kantor, instansi.

Tapi ada 3 anaknya yang manis-manis, 2 wanita mengapit satu cowok ganteng, pancuran kapit sendang. Kebetulan 2 anak yang besar lagi agak demam jadi enggak sekolah. Jadi kami ada waktu sedikit chit chat dengan anak-anak ini.

Kedatangan kami sudah diketahui sebelumnya. Jadi 2 mbak-mbak yang membantu di rumah menyambut kami dengan baik. Mereka sudah pernah tahu kami.

Mbak-mbak ini ramah, hormat (tapi tidak berlebihan, sewajarnya alias pas), mau ngobrol dengan baik. Anak-anak kelihatan nyaman dengan mereka.

Apa kira-kira faktor yang membuat mbak-mbak itu seperti itu?

Tentu banyak faktor. Dan saya berandai-andai, bahwa hal-hal berikut ini turut menyumbang:

  1. Mereka di-wong-ke. Hubungan itu bukannya hanya hubungan kerja, tapi hubungan orang ke orang. Itu berarti ada kasih, keramah tamahan dari tuan rumah. Bahkan dalam banyak kejadian, dan itu typical di Indonesia, mereka dianggap keluarga sendiri. Jadi, seringkali, jika waktu/hubungan kerja sudah cukup lama, perhatian tuan rumah itu menjangkau juga ke keluarga besar mbak-mbak itu. Makin mantap saja. Ini Indonesia, bung!
  2. Mereka menerima haknya khususnya gaji. Dan bahkan dalam banyak kejadian, mereka bisa jadi menerima lebih dari haknya.
  3. …. Apalagi kemungkinannya? 😊 Mohon menambahkan di bagian komentar.

Jadi, kami pun merasa mbak-mbak kawan ini seperti saudara lah. #lebaydotcom

Semoga kasih sayang semakin utama terjadi dimana-mana, karena buahnya indah sekali.

Jadi, untuk saat ini ada tiga hal yang kita harus tetap lakukan: percaya, berharap dan saling mengasihi. Yang paling penting dari ketiganya itu ialah mengasihi orang-orang lain. (1 Korintus 13:13 BIMK)