Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.
Untuk ulang tahun seorang ibu, kak Lyd, tanggal 2 September yang lalu, muncul satu renungan dalam hati saya mengenang satu pengalaman “kecil” dg beliau.
Setiap interaksi di antara kita, akan memberikan dampak. Baik dan buruk, Tuhan akan memakainya untuk mendewasakan dan menyempurnakan kita.
Satu pengalaman positif saya dengan kak Lyd adalah ketika saya mengalami depresi tahun 2007 (ketika saya berumur 40 tahun). Pada saat itu, tidak mudah bagi saya untuk berjumpa dengan orang atau untuk kontak dengan orang. Misalnya, ada orang yang telpon saya (untuk bertanya kabar dan memberi nasihat), saya waktu itu tidak bisa menerimanya, secara emosi saya merasa tidak nyaman. Kalau rekan tsb telpon lagi, List yang saya minta angkat. Eh, suatu saat beliau itu ke rumah dan menginap pula :),… jadi saya agak menghindar… saya menyepi di kamar sini, beliau di kamar sana, … jadinya beliau lebih banyak ngobrol dengan List (dan Soko) 😁. Pada kondisi seperti itu, saya tidak bisa beradaptasi dan merasa nyaman dengan semua orang.
Salah satu yang mengunjungi saya di rumah adalah kak Lyd. Dalam kunjungan itu dia bercerita hal-hal yang rada aneh menurut saya, hal-hal/pengalaman pribadi beliau yang tidak saya duga bisa dia alami seperti itu. Hal-hal yang sebenarnya terasa memalukan, tindakan yang seperti tidak terkontrol dan “not usual me/her”. Mungkin beliau menceritakannya untuk berempati dengan saya yang kira-kira mengalami keanehan-keanehan semacam itu. 🙂 Tetapi, cerita-cerita seperti itu malah menghiburkan saya (hahahaha). Dibanding nasihat-nasihat serius, lebih enak dengar yang seperti itu (pada situasi tsb). Terima kasih, kak Lyd, saya akan selalu mengenang kebaikannya.
Jadi –saya menarik pelajaran–,
Setiap kisah hidup kita –khususnya yang buruk– akan berguna untuk orang lain. Tunggu saja saatnya, akan ada yang perlu mendengarkannya.
Tidak setiap orang cocok untuk semua orang. Santai saja. Jangan ambil bagian terlalu banyak (jangan terlalu memaksakan bahwa diri kita berarti bagi seseorang), tetapi jangan juga menarik diri terlalu eksktrem (seolah diri kita tidak bisa berarti bagi siapapun/seseorang).
Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.
Mzm 90:10
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.
Within six months I was OFF from all ministry activities… It was like entering a period of “eating grass in the field”…
This testimony was prepared as an introduction to sharing lessons at ILG, June 2022, on the theme: Leading by Influence: Leading from Brokenness. Translated by Google, refined by -mostly- Elsa Siahaan.
In 2007 I was in great enthusiasm for the growing ministry, both local and regional and national ministries. By then I had been on the staff (with The Navs) for over 13 years. And in 2007 I was about to be 40, the age that is said: never dies… or like the Sia’s song: Unstoppable – like a porsche, don’t need batteries to play. 😊
At that time, during a final trip to Kuala Lumpur/KL in March 2007, as usual I visited one or two cities beforehand: Batam and Singapore. I traveled alone. It was in Singapore that my journey came to a halt.
—
While walking with a friend on Orchard Road (afternoon after lunch), my vision suddenly disappeared (I experienced a blackout), not dark but actually white. And I was about to fall unconscious, but was supported by the friend. Without heeding the traffic signs, my friend carried me across the road and we went into the nearest hospital: Mt Elizabeth Hospital.
My pulse/heart beat seemed very irregular and very fast, maybe 200bpm on average. That was what made me want to faint earlier, because the oxygen supply was not smooth. I was injected with medicine and monitored for 24 hours. About 5-6 hours later, my heart rate returned back to normal.
That night I was offered sleeping pills, but I didn’t take them, just because I’m not used to taking medicine. I’ve never been hospitalized before, and am the type who doesn’t like to take any medication.
I apparently couldn’t sleep that night which made it a long night and full of inner struggles. My mind drifted away to new things, some were the little things I have missed as the time went by. I incidentally did not bring a notebook, because I usually write down what I meditate on. Then the hospital tissue was the medium to write down the main thoughts that came to mind that night.
I was only hospitalized for one night where the next morning the doctor discharged me. The doctor said: you can go home, you can exercise again as usual, continue your trip, and so on. …. But I have become a very different person since then.
I felt both unable to continue the trip to KL nor to return to Indonesia. I felt very weak physically, very down and a bit confused with my condition. Then I stayed with one family of Nav Indonesia alumni. My strangest condition at that time was feeling mentally down, experiencing fear and panic easily. At that time my friend was working (at his office), while I was at home alone… and out of panic, sometimes I called him at the office asking: when are you coming home? I felt that I couldn’t seem to be left at home alone.
In addition, I also felt physically very weak. Even going up and down the stairs was difficult/hard.
However, I realized that I had to go home. At that time I did not tell my wife in Jakarta the details about my condition.
The trip home at that time was the most difficult one among other trips. I felt so weak that I was not able to lift my own luggage, so I needed my friend’s help to check in the luggage. At CGK airport in Jakarta, two good friends were ready to welcome me and help me with my luggage (late mas Madyo, and bang Yona).
—
In Jakarta, I still often had a similar physical condition where my heart suddenly beat abnormally and rapidly, only to recover a few up to 5 hours later. I marked my calendar when the arrhythmia attacked, and how heavy. After weeks, months, the situation was getting lighter. But in one month, Nov 2007, another serious arrhythmia attacked again and I had to be hospitalized again for one night. But after that, I started to accept my condition and was ready with the arrhythmia even though it was severe.
Along with that physical condition, it felt heavier that my mental state was very down. Maybe I was not just burnt out… Maybe I was depressed, … but I didn’t consult a professional. There was no such mechanism at that time. 😀 So I had to face it by myself and felt that I was on my own. Within six months I was OFF from all ministry activities… It was like entering a period of “eating grass in the field”…
What had been said about me came true at once. I was driven away from people. I ate grass just as cattle do. My body became wet with the dew of heaven. I stayed that way until my hair grew like the feathers of an eagle. My nails became like the claws of a bird.
Dan 4:33
I used to live on the 2nd floor, but due to my weak physical condition, I moved to the 1st floor. My wife and son (at that time 12years old) were on the 2nd floor. I was mentally very weak. I could often suddenly cry for no reason, loud and prolonged crying… hours. (Now when I think about it, I’m confused about how I could be like that. 😀)
Visits from some friends didn’t seem to have a positive effect at that time. Sometimes I even refused to meet guests or even receive phone calls, because their words often stressed me more.
Those months were the time when I struggled with the difficult situation. Trying to find a comprehensive solution… physically, attitude, emotionally, etc… changing the pattern of life (exercise, food, etc.). Reassess attitudes and outlook on life.
Pagi ini -26 April 2021- jogging, rutin. Biasanya jogging sambil memperhatikan sekitar. Ada apa saja di sekitar yang dilalui? Maklum, sering jogging melewati jalan-jalan baru, jadi menarik untuk memperhatikan. Atau memperhatikan jalan lama, mungkin ada sesuatu yang baru, yang menarik.
Kali ini, saya tertarik dengan angka 37A di sebuah rumah yang saya lalui.
Angka ini membuat angan melayang ke masa TPB (Tahun Pertama Bersama) di ITB, 1986/1987. Ya, saya tinggal di Taman Hewan nomor 37A (semoga tidak salah ingat). Tahun pertama, tinggal di Taman Hewan 37A, adalah tahun yang mungkin termasuk paling mengesankan selama kuliah/berada di Bandung.
Tinggal sekamar dengan kang Heri Pur adalah kenangan yang sangat baik. Kok bisa kami sekamar? Kemungkinan cari murahnya ya, share kamar. Satu kamar dengan sekat tembok. Kamar belakang dengan bed kingsize bisa untuk berdua. Kamar depan untuk belajar. Seingat saya (sekitar) 250rb rupiah setahun, bagi dua.
Tetangga kamar kami ada Catur dan Gadang Basuki. Nah, Catur ini sudah enggak pernah lagi kontak dimana dia sekarang (sejak pisah kost pun udah gak connect). Tetapi Gadang tentu tetap connect, karena kami satu jurusan, Elektro (Catur: Mesin). Apalagi sekarang kan zaman reunian. Apalagi, Gadang rada high profile, sering pasang video nyanyinya di youtube. Keren lah.
Tetangga kamar kami berikutnya adalah Tiopan dan Mangihut. Pada waktu itu saya belum terlalu care/ngeh tentang marga, jadi saya kurang ingat apa marga kedua kawan tsb. (Sekarang, mengetahui marga kawan adalah kewajiban, secara nama mereka itu banyak nama pasaran, mesti tahu marganya sebagai pembeda… coba lihat berapa banyak nama David atau Daniel?) 😀
Kalau dengan Tiopan (atau Mangihut) yang notabene Batak Kristen, saya bisa mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan Alkitab, secara santai atau rileks dan spontan. (Padahal kemudian, saya juga tahu bahwa saya bisa membicarakan isi Alkitab dengan teman Muslim juga dengan rileks dan natural. Bukan kah isinya memang sangat bagus untuk semua orang? Kalau tahu caranya….)
Di tahun pertama itu, saya menghafalkan Yer 17:7-8 (dari sekian buanyak ayat hafalan):
Yer 17:7 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! 8 Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Pada waktu itu saya tidak concern dengan latar belakang kata-kata itu. Dikatakan kepada siapa, mengapa, dll. Dan sekarang pun saya belum menelitinya.
Ayat itu, pada tahun pertama kuliah itu, luar biasa artinya. Sangat luar biasa. Kadang terasa aneh kalau diingat balik. Tentang mengandalkan Tuhan, mengharapkan sesuatu yang di luar apa yang saya pikirkan.
Salah satu pengalaman kecil adalah dengan kuliah Kimia Dasar. Kita dapat dua kali kuliah Kimia, Kimia I (semester 1) dan Kimia II (semester 2). Saya mesti mengatakan, bahwa ini saya katakan/ceritakan dengan ingatan saja, mungkin ada detail yang tidak tepat. 🙂
Kimia adalah pelajaran yang paling sulit bagi saya, paling tidak dibandingkan Fisika atau Matematika. Misalnya Matematika, saya bisa berharap nilai A+ kalau ada. Tetapi Kimia I saya hanya dapat B.
Jadi adalah suatu yang wajar saya berharap dapat A untuk Kimia II. Target yang secara manusiawi kurang realistis, karena memang saya kurang suka atau kurang pintar Kimia, rasanya kok pelik banget pelajaran satu ini. 😀
Apalagi, ini latar belakang lain, saya mahasiswa miskin.. enggak ada kemampuan beli buku diktat bahkan untuk fotocopy material kuliah juga enggak ada uang. Kasihan ya. 😀 Makan saja kadang enggak ada uang, boro-boro beli buku. Lebih penting hidup daripada kepintaran kan? hahaha….
Saya biasanya berharap pada lungsuran buku dari orang/senior yang saya kenal. Atau… ya ini dia: ilmu kepepet. Kemiskinan membuat kreatif.
1. Saya kuliah jadinya sangat fokus, karena tahu nanti di rumah mungkin saya gak ada material lain untuk dipelajari, waktu kuliah harus bisa serap 100% apa yang dosen ajarkan.
2. Ini untungnya tinggal bersama kawan-kawan. Kalau kawan lain lagi tidur, saya pinjam buku diktatnya. Biar gak ganggu dia belajar. Pinter kan? 🙂
Seperti bisa diduga, nilai UTS saya (Kimia II) cukup rendah. Saya lupa persisnya, maybe sekitar 79 … atau 69 ya? Mulai berhitung: kalau UTS dapat segitu, lalu bobot UTS segini, maka saya harus dapat nilai sekian utk UAS supaya bisa dapat nilai A. Dan waktu itu hitungan saya harapan/target nilai UAS itu terlalu tinggi, rada mustahil, saya lupa persisnya, mungkin sekitar 95 atau gimana… Mustahil bin mustajab.
Ketika UAS tiba, dengan semangat 45 saya maju berperang. Sampai detik/titik darah penghabisan. Yang lain ngobrol menunggu menit UAS tiba, saya masih comot/sabet buku diktat mereka untuk membaca lagi. Dan hebat, apa yang saya baca last minutes itu keluar di ujian, sodara-sodara!!! Merasa hebat dan senang.
Dan tibalah hari pengumuman nilai UAS, mungkin itu sebelum masa libur panjang. Kita ke gedung Kimia dengan harap-harap cemas. Saya runut melihat nama saya dan nilainya. Tentu saya lupa juga sekarang, berapa nilai saya waktu itu. Tetapi yang jelas, dengan perhitungan saya, dengan bobot dan nilainya, saya gak mencapai target nilai untuk mendapat A. Mungkin saja saya dapat nilai 90, udah hebat kan? Tetapi tetap lunglai lah…
Ya sudahlah, yang penting liburan tiba, saatnya istirahat… 🙂
Balik dari liburan, kita lihat lagilah nilai akhir (huruf) dari mata kuliah-mata kuliah yang kita ikut… Dan, … kita dapat A sodara-sodara, untuk KIMIA II. Hah??? Rupanya nilai keseluruhan kelas, dibuat kurva normal, mengubah standar untuk dapat A, dan nilai akhir saya ada di bagian A. Wow. Luar biasa.
Saya gak ingat, apakah waktu itu saya tertawa atau menangis berkaca-kaca, atau gimana. Pasti saya senang sekali.
Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!
Rute yang sama, saya lalui dengan jogging lebih cepat di hari berikutnya, 27 April 2021. Semangat!
Apapun yang menjadi masalahmu, kuat atau enggak kuat, kamu harus kuat; tetapi misalnya kamu benar-benar enggak kuat lagi, ya tetap harus kuat.
Hari ini gak tahu kenapa, saya cukup bersedih, kelihatannya karena kematian Didi Kempot tadi pagi. Maybe beberapa kawan di Dewa, khususnya mas Guntara, yang juga bisa turut merasakan kesedihan ini. Kami kalau karaokean Dewa biasanya ada lagu campur sari beliau (dan biasanya mas Gun atau pakdhe Maryanto yang memilih lagu tsb).
Beliau bernama asli Dionisius Prasetyo, kelahiran 31 Des 1966. Mulai berkarir sebagai pengamen di Solo tahun 1984-1986, lalu tahun 1987 mulai mengadu nasib, mengamen di Jakarta. Kempot artinya Kelompok Pengamen Trotoar.
Duka cita saya kepada segenap keluarga almarhum dan seluruh sobat ambyar di mana pun berada. (Presiden Jokowi)
Terakhir pak Presiden memang punya kebahagian melihat alm menggalang dana covid dengan konser amal dari rumah yang menghasilkan 7,6 Milyar rupiah.
Beliau telah menggubah sekitar 800 lagu (tadi kami lihat di tv, ada yang bilang 700), semua atau hampir semua berbahasa Jawa. Kata-katanya bagus-bagus, ungkapan hati, penuh kedalaman.
Umpamane kowe uwis mulyo Lilo aku lilo Yo mung siji dadi panyuwunku Aku pengin ketemu Senajan sak kedeping moto Kanggo tombo kangen jroning dodo (dari lagu Sewu Kutho)
Terasa agak aneh, meski lagu berbahasa Jawa dan genre campur sari, tapi fans mudanya banyak banget, ada Sadboy, Sadgirl. Mungkin karena temanya kebanyakan tentang hati, tentang dukacita, tentang patah hati… sampai dia dijuluki The Godfather of Broken Heart. Krn itu pula fansnya menyebut diri: sobat ambyar. Ambyar berarti: hancur berkeping-keping, remuk. Dia memberi kelegaan dan tempat kepada (para lelaki) yang mau menangis karena patah hati.
Demikianlah hidup kita bisa menyentuh orang lain, melalui kasih karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Bakat, kemampuan, dll adalah dari kelahiran pertama kita, untuk berada dan menyentuh dunia ini. Kristus memberikan kelahiran kedua untuk membuat sentuhan itu sangat berarti.
Turut berdukacita bersama para sobat ambyar, bersama Indonesia.
NB: Saya menulis ini sambil melihat konser kenangan beliau di salah satu channel TV telestrial. Kami sudah sangat lama gak punya saluran TV telestrial, gak ingat udah berapa tahun, maybe 6-10 tahun atau malah lebih. Tapi demi melihat konser kenangan alm Didi Kempot ini, akhirnya saya nyalakan tv dan rupanya/syukurnya ada saluran terestrial.
Terjemahan text di gambar: Apapun yang menjadi masalahmu, kuat atau enggak kuat, kamu harus kuat; tetapi misalnya kamu benar-benar enggak kuat lagi, ya tetap harus kuat.
Allah mau melakukan sesuatu, Dia bisa saja melakukannya sendiri, tetapi mengapa Dia mengajak Musa (dll) untuk bekerja melakukannya?
Kelihatannya Dia ingin manusia/kita mengalami Dia di dalam kehidupan ini.
Segala emosi dan sifat-sifat manusia akan mengalami Dia dalam segala dinamikanya.
Dia besar, Musa sekali mengalami kehadirannya (di semak berapi tsb). Lalu Musa melangkah dalam ketaatan dan iman. Apakah Dia akan melakukan lagi seperti yang Dia katakan? Seperti yang Dia nyatakan? Apa jaminannya? Percaya.
Ada saat Tuhan banyak turun tangan berperang dan melakukan sesuatu, tetapi orang perlu belajar berperang dan berusaha untuk melakukan sesuatu di masa-masa kemudian.
Apakah ini adalah bagian dari kedewasaan? Ketika kita kecil, orang tua banyak melakukan, tetapi makin besar, kita akan lebih banyak melakukan.
Masalah kemampuan kita, juga adalah hasil dari upaya kita, latihan kita, bukan sesuatu yang gifting.
Ada perubahan kemampuan yang harus dilatih sesuai dengan masa/fase kehidupan kita. Mungkin suatu saat perang, suatu saat pengembangan teknologi. Jangan terpaku dengan teori, tetapi lihatlah secara dinamis apa yang sedang dihadapi dan apa yang perlu dikembangkan untuk menghadapinya.
Bagaimana Dia berkomunikasi/memimpin Musa?
Dengan berbicara langsung?
Mengajar dia berpikir.
Dia hadir setiap saat, suatu misteri mengalami kehadiran dan penyertaan serta pimpinan-Nya. Dia melihat, mendengarkan, dan mengatakan sesuatu.